Akar Sejarah: Masa Kolonial yang Membentuk Identitas
iNews Bukittinggi– Bukittinggi menyimpan lapisan-lapis sejarah yang membentuk karakter uniknya. Awalnya bernama Fort de Kock, kota ini lahir dari kepentingan militer Belanda yang membangun benteng pertahanan pada 1825 di puncak bukit. Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hendrik Merkus de Kock, memilih lokasi strategis ini untuk mengendalikan wilayah Minangkabau.
“Benteng Fort de Kock bukan sekadar markas militer, tapi menjadi cikal bakal tata kota modern Bukittinggi,” jelas Dr. Hasan Basri, sejarawan Universitas Andalas.
Selama abad ke-19, Bukittinggi berkembang pesat menjadi:
-
Pusat administrasi kolonial untuk wilayah Sumatera Barat
-
Tempat peristirahatan elite Belanda karena udaranya sejuk
-
Pusat pendidikan dengan sekolah-sekolah bergaya Eropa
-
Simbol pertemuan budaya Minangkabau dan Eropa
Masa Pendudukan Jepang: Pusat Komando Regional
Perang Dunia II membawa perubahan drastis. Tahun 1942-1945, Jepang mengubah Bukittinggi menjadi:
-
Markas besar militer untuk Sumatera hingga Asia Tenggara
-
Pusat logistik dan pelatihan tentara
-
Basis propaganda Jepang dengan nama BukittinggiItu bukan milikmu.
“Lobang Jepang yang masih ada hingga kini menjadi bukti pahitnya masa pendudukan,” tutur Makmur (72), warga setempat yang ayahnya menjadi romusha.
Baca Juga : Rendang vs Kalio: Dua Masakan Ikonik Nusantara yang Sama-Sama Lezat, Tapi Tak Sama Rasa
Episode Heroik: Ibu Kota PDRI
19 Desember 1948 menjadi hari bersejarah ketika Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peran strategisnya meliputi:
-
Pusat pemerintahan alternatif selama 7 bulan
-
Basis perlawanan politik dan militer
-
Tempat rapat kabinet darurat di Halaban
-
Simbol keberlangsungan negara saat Yogyakarta jatuh
“Tanpa PDRI di Bukittinggi, mungkin saja Belanda akan mengklaim RI sudah tidak ada,” tegas Prof. Syafrizal, pakar sejarah politik.
Jalan Panjang Menuju Otonomi
Pasca kemerdekaan, Melalui fase transformasi pemerintahan:
-
1947: Ditetapkan sebagai daerah berhak mengatur diri sendiri
-
1956: Menjadi Kota Besar Otonom (UU No.9)
-
1974: Berstatus Kotamadya Tingkat II (UU No.5)
-
1999: Menjadi kota otonom penuh (UU No.22)
“Perubahan status ini memberi ruang lebih besar untuk mengembangkan potensi lokal,” ujar Wali Kota Erman Safar.
Warisan Budaya: Harmoni Masa Lalu dan Masa Kini
Bukittinggi dijuluki “Parijs van Sumatera” karena:
-
Arsitektur kolonial yang terawat
-
Taman-taman bergaya Eropa
-
Tata kota terencana dengan latar ngarai
-
Pusat seni dan budaya Minangkabau
Pariwisata sebagai Penggerak Ekonomi
Sejak ditetapkan sebagai Kota Wisata (1984)
-
Wisata sejarah (Jam Gadang, Benteng Fort de Kock)
-
Wisata alam (Ngarai Sianok, Lubang Jepang)
-
Wisata kuliner (Sate Padang, Lamang Tapai)
-
Festival budaya tahunan
“40% PAD kami berasal dari pariwisata,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata setempat.
Prestasi Kontemporer
Bukittinggi kini menjelma menjadi kota modern dengan:
-
Pendidikan berkualitas (100+ lembaga pendidikan)
-
Infrastruktur canggih (Smart City Award 2017)
-
SDM unggul (angka literasi 98,5%)
-
Ekonomi kreatif yang berkembang
Refleksi: Otonomi sebagai Jati Diri
TransformasiBukittinggi mencerminkan:
-
Ketangguhan menghadapi perubahan zaman
-
Kemampuan memadukan tradisi dan modernitas
-
Semangat kemerdekaan yang tak pernah padam
-
Komitmen melestarikan warisan budaya
“Bukittinggi adalah bukti hidup bahwa otonomi daerah bisa menjadi jalan menuju kemandirian tanpa kehilangan identitas,” pungkas Wali Kota Erman Safar.